Thomas Suwarta Ajak Pers Kolaborasi Dengan Kementerian Untuk Peradaban HAM

Palangkaraya — Staf Khusus Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Thomas Harming Suwarta, mengajak seluruh insan pers Indonesia untuk terlibat aktif dalam pembangunan peradaban Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam seminar nasional “Jurnalis dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” yang digelar pada Rapat Kerja Nasional Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (Pewarna) di Aula Kantor Gubernur Kalimantan Tengah, Kamis (13/11),

Thomas menekankan bahwa media harus menginternalisasi nilai HAM dalam setiap lini pemberitaan dan menjadi mitra strategis Kementerian HAM dalam mewujudkan target Astacita pemerintahan saat ini.

Palangkaraya — Pada pembukaan seminar nasional “Jurnalis dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Staf Khusus Menteri Hukum dan HAM RI, Thomas Harming Suwarta, memaparkan ajakan konkret bagi wartawan untuk mengambil peran lebih aktif bukan hanya sebagai peliput, tetapi sebagai agen perubahan dalam pembentukan peradaban HAM di Indonesia.

Thomas menjelaskan bahwa peran jurnalis melampaui fungsi tradisional sebagai pilar demokrasi; melalui tulisan dan reportase yang berperspektif HAM, wartawan mampu menumbuhkan kesadaran publik, mengawasi kebijakan pemerintah, serta mendorong pemenuhan hak-hak dasar warga negara. “Jika media mengadopsi perspektif HAM, isu-isu penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM akan muncul konsisten di ruang publik, bukan hanya saat ada kasus besar,” ujarnya.

Lebih jauh Thomas menguraikan keterkaitan inisiatif Kementerian dengan dokumen Astacita pemerintahan Prabowo–Gibran, yang menurutnya secara eksplisit menempatkan aspek-aspek HAM pada prioritas pembangunan nasional. Thomas menyebut bahwa lebih dari separuh poin pada Astacita mengandung nilai-nilai HAM, sehingga media memiliki peluang strategis untuk menerjemahkan dan mengawasi implementasi kebijakan tersebut di daerah-daerah.

Pengarusutamaan isu: Menjadikan isu HAM tema pemberitaan berkala, termasuk soal akses layanan publik, kebebasan sipil, dan hak ekonomi-sosial budaya.  

Advokasi berbasis fakta: Menghadirkan liputan investigatif yang menyorot pelanggaran dan praktik baik sehingga memicu respons kebijakan.  

Edukasi publik: Menyajikan konten yang memberi pemahaman hak-hak dasar warga dan mekanisme penegakannya.

Ia juga mengingatkan tantangan di era banjir informasi: meski banyak kanal menyebarkan berita, media mainstream yang kredibel tetap menjadi rujukan utama publik. Oleh karena itu wartawan diminta menjauhi sensasionalisme dan mengutamakan verifikasi serta konteks HAM agar pemberitaan mendidik dan memengaruhi kebijakan publik.

Thomas menegaskan pentingnya peningkatan kapasitas jurnalis dalam substansi HAM. Kementerian mengusulkan program pelatihan berkelanjutan untuk redaksi di pusat dan daerah, modul pemberitaan HAM, serta penyediaan data dan narasumber ahli untuk memperkaya liputan. “HAM adalah aset tak berwujud termahal bangsa; wartawan yang paham HAM akan menjadi komunikator publik yang efektif,” katanya.

Menutup sambutannya, Thomas membuka pintu kerja sama formal antara Kementerian dan organisasi pers untuk:

menyusun modul pelatihan HAM bagi jurnalis;  membentuk jaringan peliputan HAM yang terkoordinasi;  memfasilitasi akses data dan pemangku kepentingan di daerah untuk verifikasi liputan.

Ketua Umum Pewarna Indonesia, Yusuf Mujiono, menyambut inisiatif tersebut dan meminta kepastian perlindungan HAM bagi wartawan saat menjalankan tugas. Yusuf menekankan harapan agar kerja sama

ini berujung pada mekanisme perlindungan praktis, seperti prosedur pelaporan serangan terhadap wartawan, jaminan keamanan saat peliputan konflik, dan advokasi regulasi yang melindungi kemerdekaan pers.

(Cipi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *